Kamis, 10 Februari 2011

Model Perumahan Keluarga Muda

Latar belakang
Masalah kependudukan di negara-negara berkembang dan khususnya di Indonesia sangatlah berpengaruh terhadap langkah-langkah dalam pemenuhan perumahan bagi rakyat. Masalah kependudukan bukan hanya pertambahan jumlahnya yang pesat maupun penyebarannya yang tidak merata, baik antar pulau maupun antar desa-kota. Namun menyangkut pula masalah-masalah sosial budaya dan sosial psikologi dari perkembangan penduduk dan keluarga-keluarga penghuninya.
Dalam kaitannya dengan masalah perumahan rakyat, di lingkungan permukiman kota kita saksikan banyak rumah-rumah sederhana yang dihuni terlalu padat lebih dari satu keluarga dalam satu unit. Di kota-kota besar banyak pasangan muda dari golongan penghasilan bawah yang selalu cemas untuk memenuhi biaya kontrak atau cicilan rumah. Sebagai akibatnya, cukup banyak ibu muda turut bekerja di luar rumah karena terpaksa, karena penghasilan dari suami yang kurang memadai. Keadaan ini pada gilirannya berpengaruh pada jadwal anak-anak balita di perkotaan, yang terpaksa pergi pagi pulang sore mengikuti irama kerja kedua orangtuanya. Dengan terpaksa bekerja di luar rumah, banyak ibu muda yang tidak lagi menyusui dan mengasuh bayinya. Banyak anak-anak dari keluarga muda kelas menengah bawah kota yang mengalami pertumbuhannya dalam situasi selalu berpindah-pindah rumah kontrakan, dalam ketidakjelasan pembagian ruang-ruang yang dihuni oleh terlalu banyak orang dewasa, dan tumbuh dalam dualisme pengasuhan ibu dan nenek atau penjaga anak sukarela.
Mengapa fenomena perumahan perkotaan seperti itu harus terjadi di kota-kota di tanah air? Padahal ahli-ahli perumahan sudah mengatakan bahwa sebenarnya ada pengaruh aspek psikologi perkembangan keluarga (dinamika keluarga) dalam pemenuhan kebutuhan perumahannya. Ada kaitan yang erat antara tahap-tahap perkembangan keluarga dan kebutuhan perumahannya. Di dalam perkembangan keluarga itu, tahap awal keluarga muda adalah masa perkembangan yang penting dan memiliki karakter kebutuhan perumahan yang khas pula. Termasuk kebutuhan anak-anak yang  tidak terpisah dari keluarga muda itu sendiri. Dari perspektif perkembangan keluarga, kita memang harus memandang keluarga sebagai satu kesatuan yang utuh dan bersinergi dalam perkembangannya yang produktif.

Konsep Perumahan Keluarga Muda
Model Perumahan Keluarga Muda adalah konsep perumahan sewa murah dan layak yang sesuai dengan karakter kebutuhan para keluarga muda pada masa awal kehidupan keluarganya. Dengan dipadukan dengan program ekonomi dan harga sewa yang murah, perumahan pada tahap keluarga dengan anak pra-sekolah memberi kesempatan menabung dalam jangka panjang untuk memperoleh perumahan yang lebih sesuai dengan kebutuhan pada tahap perkembangan keluarga selanjutnya. Perumahan keluarga muda juga adalah wadah perkembangan psikologis keluarga dan media pembelajaran dalam mengelola rumah tangga moderen secara mandiri di perkotaan.
Perumahan keluarga muda menyediakan wadah yang stimulatif bagi interaksi yang optimal antara ibu dan balita, dan bagi pertumbuhan dan perkembangan anak, selalu sejuk, nyaman, rapih dan bersih sehingga kondusif bagi hubungan yang harmonis
Rumah-rumah Keluarga Muda harus menyediakan secara memadai ruang-ruang untuk berbagai kegiatan anggota-anggota keluarga muda. Ruang-ruang yang dibutuhkan menganut asas efisien, praktis, fleksibel, multi fungsi dengan menempatkan asas fungsional sebagai asas utama.
Lingkungan tempat tinggal yang aman dari ancaman bahaya-bahaya keselamatan dan keamanan anak-anak, berperan sebagai wadah interaksi ibu dan anak di luar rumah, serta dilengkapi fasilitas-fasilitas umum dan sosial yang dapat memenuhi kebutuhan keluarga muda, serta fasilitas lingkungan merangsang pengayaan pengalaman anak-anak saat beraktifitas dan merangsang seluruh bentuk gerak dan ketrampilan fisik anak, intelijensia, dan emosionalnya.
Secara prinsip, model perumahan keluarga muda harus mencukupi kebutuhan akomodasi untuk seluruh anggota keluarga, ekonomis, efisien dan praktis, dengan ukuran-ukuran dan fasilitas-fasilitas yang  secukupnya, penggunaan material yang memudahkan perawatannya sehingga secara ekonomi dapat meningkatkan keterjangkauan keluarga muda.
Dengan memperhatikan kemampuan ekonomi para keluarga muda perkotaan, harga sewa perumahan keluarga muda berkisar antara Rp 500 ribu hingga Rp 2 juta per bulannya. Dengan sedikit lebih mahal dari skema sewa biasa, dapat pula dikembangkan skema sewa-milik untuk hak pakai jangka panjang, dengan misalnya masa menyewa 20 tahun dan masa pakai tanpa sewa 30 tahun. Berbagai skema ini bisa dikembangkan hanya oleh lembaga perumahan publik dalam bentuk korporasi sebagai pelaksana dan pengelola yang profesional dan didirikan untuk tujuan-tujuan jangka panjang.
Pada gilirannya, para keluarga muda kelas menengah bawah perkotaan mendapatkan peluang yang besar untuk menjangkau dan bertempat tinggal di lingkungan yang layak, nyaman, sehat dan produktif, serta sesuai dengan kebutuhan di tahap perkembangan sebagai keluarga muda. Sistem pengadaan dapat melalui skema sewa maupun sewa milik dengan status hak pakai jangka panjang.

Langkah-langkah Penerapan Model Perumahan Keluarga Muda
Konsep perumahan untuk keluarga muda sudah diterapkan di negara-negara yang maju urusan perumahannya seperti di Jepang. Di sana penyediaan perumahan rakyat memperhatikan kebutuhan yang didasari dinamika dari tahap-tahap perkembangan keluarga. Pengenalan karakter kebutuhan keluarga muda ini menjadi bagian dari moda penyediaan perumahan publik (public housing). Di kompleks-kompleks Danchi (public housing) di kota-kota besar di Jepang, unit-unit rumah dibuat sederhana namun kompak, sesuai kebutuhan keluarga muda. Juga dapat kita saksikan tersedianya berbagai fasilitas yang dibutuhkan anak-anak, para ibu muda maupun kelompok lainnya seperti taman bermain, penitipan anak, pusat-pusat aktifitas (community center) dan sebagainya.




Gambar. Unit, blok dan Kompleks Danchi (public housing) di Jepang yang sesuai
dengan kebutuhan perumahan keluarga muda

Kelompok keluarga muda pada dasarnya tergolong sebagai kelompok masyarakat berpendapatan rendah di awal kehidupannya berkeluarga, sehingga pemenuhan perumahannya sebenarnya sulit dipenuhi melalui sistem penyediaan perumahan komersial. Model perumahan keluarga muda akan sesuai jika dikembangkan di dalam moda perumahan publik, sehingga sangat sejalan jika dikembangkan dalam konteks merevitalisasi kembali peran Perumnas sebagai National Housing and Urban Development Corporation (NHUDC), dan meninggalkan peran kerdilnya sebagai pengembang biasa yang diminta bersaing bebas dengan pengembang swasta.
Model perumahan keluarga muda bukan hanya model fisik bangunan saja sehingga sulit mendapatkan peluang pengembangannya secara individual tanpa intervensi negara. Peluang pengembangan model ini cukup besar jika dilaksanakan dalam konteks membangun sistem perumahan publik, yaitu dengan merevitalisasi Perumnas sebagai NHUDC tsb. Perumahan publik yang memperhatikan keluarga muda juga dikembangkan lembaga sejenis Perumnas di Singapura (HDB) dengan memberikan hak pakai hingga 99 tahun.

Gambar. Organisasi yang profesional dari Perumahan Umum (Public Housing) yaitu HDB di Singapura diwujudkan dengan dukungan politik yang kuat. Pada gilirannya sistem perumahan publik dapat memberikan ketenangan dan senyum kebahagiaan bagi keluarga-keluarga muda di Singapura. Visinya adalah memperkuat kelas menengah dan membangun bangsa, bukan membuat paket-paket proyek perumahan, bukan pula berdagang rumah-rumah, apalagi menjadi makelar untuk jual rumah bagi orang asing.

Revitalisasi Perumnas sendiri memiliki tujuan-tujuan pembangunan sosial kebangsaan yang lebih luas dan strategis, bukan hanya sebatas untuk menyehatkan keuangan Perumnas sebagai BUMN. Tujuan NHUDC yang sejalan dengan pengembangan model perumahan keluarga muda adalah: 1)Stabilisasi pasar perumahan secara komprehensif melalui pengembangan pasar perumahan publik sewa skala besar, 2) Pengelolaan bank tanah untuk perumahan, 3) Integrasi dan efisiensi sumberdaya kunci perumahan, 4) Pelaksanaan standar bangunan layak sesuai tahap perkembangan keluarga, 5) Mencapai integrasi sosial melalui permukiman campuran dan berimbang, 6)Membangun kelas menengah masyarakat moderen perkotaan yang tangguh, serta bertujuan pula untuk 7) Membangun karakter bangsa, dan 8) Mengantisipasi perubahan iklim melalui penerapan permukiman dan pengembangan kota yang tertata dan berkelanjutan.
Tidak bisa tidak, tujuan-tujuan strategis pengembangan sistem perumahan publik seperti itu harus dijalankan oleh negara dan didukung oleh organisasi publik yang profesional dan kuat. Untuk itu sudah bukan masanya lagi organisasi publik seperti BUMN perumahan dan pembangunan kawasan (otorita) dijadikan sebagai sapi perah dan bancakan akibat kelakuan menyimpang para elit.
Di sisi lain, sistem perumahan komersial perlu diberi peran pula untuk mengisi dan mendukung pelaksanaan perumahan publik, membangun industri konstruksi, dan inovasi teknologi dari berbagai sistem bangunan dan perlengkapannya. Kita bisa melihat contoh IKEA dari Swedia, industri furniture swasta yang berkembang pesat di seluruh dunia akibat keunggulan sistem dan teknologinya. IKEA pada awalnya adalah mitra perumahan publik di Swedia.

Gambar. Di Jepang, perumahan keluarga muda dikelola secara profesional oleh Housing and Urban Development Corporation (HUDC, Perumnas nya Jepang, kini bernama UR). UR bukanlah pengembang biasa, dan hingga kini UR memiliki aset yang kira-kira setara dengan Pertamina di Indonesia. Modal kelembagaan yang kuat adalah resep untuk menyulap modal lahan, infrastruktur, gedung-gedung dan pembiayaan menjadi modal kawasan berkualitas tinggi hingga setara dengan pengelolaan modal yang bertumpu pada sumberdaya alam.


Ada apa dengan Indonesia? Mengapa Baru Sekarang?
Indonesia di masa awal Orde Baru tahun 1970-an sebenarnya sudah meletakkan dasar-dasar pembangunan sistem penyediaan perumahan publik yang baik, dengan didirikannya Perumnas sebagai pelaksana utama pembangunan perumahan rakyat, ditetapkannya BTN sebagai bank perumahan dan Kementerian Muda Perumahan Rakyat sebagai pembuat kebijakan dan konsep pembangunannya.
Sedangkan pengalaman Jepang, pada tahun 1950 Ministry of Construction (sekarang MLIT, Ministry of Land, Infrastructure and Transport) membentuk Government Housing Loan Corporation (GHLC) yang khusus bertugas dalam pembiayaan perumahan, lalu menetapkan Publicly Operated Housing Law pada tahun 1951, dan mendirikan Japan Housing Corporation (JHC) pada tahun 1955 untuk mengatasi masalah perumahan dan proses urbanisasi terutama di Tokyo, Osaka dan Nagoya. Jepang membangun sistem ini sejak 1950-an, sedangkan Singapura sejak 1960-an dengan didirikannya HDB. Kedua negara ini akhirnya berhasil memenuhi rumah layak untuk seluruh rakyatnya sekitar 30 tahun kemudian, sejalan dengan kota-kota yang tertata dalam pengelolaan urbanisasi yang berkelanjutan.



Gambar: Izumi New-Town, Osaka

Jika konsisten mengikuti pengalaman Jepang dan Singapura, seharusnya Indonesia sudah berhasil memenuhi rumah untuk seluruh rakyat pada tahun 2000-an, yang tentunya sejalan dengan tertatanya perkembangan kota-kota metropolitan di tanah air. Namun kenyataannya tidak demikian. Kota-kota berkembang menjalar-jalar merambah kawasan konservasi dan melampaui daya dukung lingkungannya. Permukiman kumuh semakin meluas terutama di kota-kota besar, hingga mencapai populasi sekitar 40% penduduk kota. Ini adalah indikasi gagalnya pemenuhan perumahan rakyat.
Mengapa bisa demikian? Di dalam perjalanannya, sistem penyediaan perumahan rakyat semakin melemah seiring lemahnya pengelolaan kota-kota dalam merespon proses urbanisasi yang cepat. Peran Perumnas juga dibiarkan melemah dan gagal dalam memimpin (bukan pesaing) para pengembang swasta dan masyarakat dalam pengembangan kawasan permukiman skala besar dan kota-kota baru. Pengaruh liberalisasi pembangunan dalam penguasaan sumber-sumberdaya kunci perumahan serta menguatnya peran pengembang swasta membuat pemerintah seperti tidak memiliki arah selain memperbesar anggaran dan memperbanyak proyek-proyek perumahan yang belum tentu “meet the need”.





Tama New Town (Tokyo)
Kota Baru Tama di sebelah Barat kota Tokyo dengan fungsi utama residensial dibangun oleh Housing and Urban Development Corporation (HUDC, kini UR).


Di dalam konteks urbanisasi di tanah air, ketiadaan permukiman dan pusat-pusat pertumbuhan baru yang dipimpin oleh sektor publik ini menyebabkan harga tanah dan rumah semakin jauh dari jangkauan rakyat kebanyakan. Urbanisasi menumpuk di pusat-pusat metropolitan. Sebagian besar masyarakat dari golongan penghasilan rendah mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan rumahnya dan akhirnya mengisi ruang-ruang marjinal kota. Pertumbuhan kawasan permukiman kumuh pun terus semakin memadat dan meluas terutama di kota-kota besar di tanah air, hingga berujung pada konflik-konflik akibat penggusuran paksa tanpa ada solusi perumahan dan permukiman yang memadai.
Permasalahan perumahan di Indonesia bukanlah lahan yang terbatas maupun tingginya harga lahan. Masalahnya adalah ketiadaan sistem penyediaan perumahan yang komprehensif yang didukung sistem kelembagaan dan kerangka regulasi yang kuat. Saya melihat ada kesalahan paradigma dalam melihat peran pemerintah dalam urusan perumahan dan perkotaan di tanah air. Pemenuhan kebutuhan perumahan rakyat tidak bisa dilakukan dengan membiarkan absennya intervensi pada sumber-sumberdaya kunci seperti tanah, infrastruktur, kewenangan penataan ruang dan pembiayaan. Tidak memadai pula jika sekedar memperbanyak proyek-proyek perumahan (rumah susun maupun rumah tapak), atau meminta pemerintah daerah untuk mengalokasikan anggaran, ataupun meminta pengembang swasta untuk membangun perumahan murah. Bukan begitu langkah-langkah yang tepat.
Pemenuhan perumahan rakyat membutuhkan tegaknya multi-sistem penyediaan perumahan (housing delivery system) yang mantap. Meliputi sistem perumahan publik, sistem perumahan komunitas, sistem perumahan sosial maupun sistem perumahan komersial. Indonesia sama sekali belum memiliki multi-sistem penyediaan ini, selain perumahan komersial yang mengarah pada sistem yang liberal. Kerangka peraturan dan perundangan yang ada pun tidak menjamin tegaknya multi-sistem penyediaan perumahan. Inilah masalahnya.
Sistem penyediaan perumahan publik seharusnya memegang peran besar dalam proses urbanisasi dan modernisasi serta terbangunnya masyarakat kelas menengah. Urban Renaissance Agency di Jepang maupun Korea National Housing Corporation adalah contohnya. Sedangkan sistem perumahan komunitas sudah berkembang pesat di Inggris melalui Homes and Community Agency, dan di Thailand dengan menguatnya lembaga CODI (Community Organisation Development Institute) yang setingkat Kementerian. Semua itu adalah kelembagaan di tingkat nasional. Sedangkan sistem perumahan sosial di Jepang barulah diadakan oleh pemerintah kota. Di Indonesia peran pemerintah nasional seharusnya masih sangat besar dalam penguatan kelembagaan dan kapasitas multi sistem penyediaan perumahan ini.

Peluang Penerapan di Indonesia
Model perumahan keluarga muda yang diterapkan secara konsisten belum ada di Indonesia karena ketiadaan sistem penyediaan perumahan yang mantap di tanah air. Memang perumahan komersial yang dibangun pengembang swasta ada juga yang dihuni oleh keluarga-keluarga muda. Namun mereka umumnya berasal dari golongan menengah atas, karena awalnya lebih dikenali dari sisi kemampuan membelinya. Jika pun ada konsumen dari golongan menengah bawah biasanya akan mengalami kesulitan keuangan di dalam perjalanan perkembangan keluarganya.
Sedangkan sistem perumahan komersial yang diberi insentif oleh pemerintah juga kurang berhasil mengakomodasi kebutuhan keluarga-keluarga muda secara utuh. Sebagai contoh, pembangunan rusunami bersubsidi yang difasilitasi oleh berbagai instrumen insentif dari pemerintah, akhirnya tidak mampu mengalami tekanan pasar. Harga unit rusunami akhirnya membengkak dengan berbagai trik-trik penambahan harga view, harga kolam renang, harga lapangan tennis, harga fitness center, dan fasilitas lainnya yang belum tentu dibutuhkan keluarga muda. Apalagi jika diadakan melalui mekanisme komersial. Dari harga patokan 144 juta, unit rusunami kenyataannya menjadi 250 juta per unit. Hasilnya, banyak pembangunan rusunami yang sebenarnya gagal dalam menyasar kelompok keluarga muda kelas menengah-tengah dan menengah-bawah di perkotaan.
Untuk merealisasikannya di tanah air, pemerintah perlu mengintervensi pengelolaan sumber-sumberdaya kunci perumahan (tanah, infrastruktur, perijinan dan pembiayaan) secara efisien. Sejalan dengan pengembangan NHUDC di dalam sistem penyediaan perumahan publik, upaya ini dilakukan dalam proyek-proyek permukiman skala besar hingga pengembangan kota-kota baru. Hasilnya adalah tersedianya model hunian campuran (multi-strata, multi-tipe) yang memungkinkan terjadinya subsidi silang dan ragam pilihan, sehingga harga perumahan publik menjadi murah sekali, baik dalam bentuk sewa maupun hak pakai jangka panjang hingga misalnya selama 50 tahun. Sebaiknya pemerintah lebih memperhatikan strategi pengembangan perumahan publik dan model perumahan keluarga muda ini ketimbang memperjuangkan kepemilikan rumah oleh arang asing.
***

(Dirangkum dan ditulis kembali dari tesis oleh M. Jehansyah Siregar, 1999, Model Perumahan Keluarga Muda Perkotaan, Alur Perumahan dan Permukiman, Arsitektur-ITB)